1.1
Kerapian
Berpakaian
1.1.1
Pengertian
Kerapian Berpakaian
Kerapian merupakan salah satu
aspek yang menjadi bagian dari penilaian guru pada siswa. Kerapian dapat
disinonimkan dengan kata apik. Jadi aspek ini lebih pada penampilan fisik atau
yang tampak dari diri siswa. Siswa yang rapi adalah siswa yang selalu tampil
dengan apik, necis, dan dirinya terawat dengan baik dari segi kesehatannya.
Demikian pula pakaian dan peralatan yang dimilikinya.
Menurut
Mutiara Endah (2013) kerapian berpakaian yaitu suatu perilaku seseorang agar
selalu tetap rapi dalam berpakaian, sesuai dengan tata tertib yang berlaku.
Kerapian
berpakaian dirasa berperan penting dalam pendidikan. Karena pendidikan bukan
hanya mencetak siswa berprestasi dalam bidang akademik, melainkan juga sebagai
wadah pengembangan potensi dan kepribadian siswa. Disuatu sekolah tanpa adanya
kerapian berpakaian akan mengganggu kenyamanan peserta didik dalam belajar.
Tujuan pembelajaran meliputi
tiga ranah yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif adalah
kawasan yang berkenaan dengan proses pengetahuan melalui evaluasi. Ranah
afektif adalah satu domain yang berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, apresiasi,
dan penyesuaian perasaan sosial. Sedangkan ranah psikomotor yakni berhubungan
dengan sebuah stimuli yang berkaitan dengan organ tubuh. Kerapian berpakaian
disini masuk wilayah ranah afektif yakni berkaitan mengenai sikap dan perilaku
siswa di sekolah.
1.1.2
Indikator
Kerapian Berpakaian
Kerapian berpakaian merupakan salah satu bagian dari ranah
afektif. Sebelumnya ranah afektif dianggap kurang berpengaruh, guru hanya
memprioritaskan ranah kognitif. Sedangkan untuk ketercapaian tujuan
pembelajaran peserta didik diwajibkan untuk memenuhi syarat dari ketiga ranah
tersebut. Ranah afektif meliputi beberapa aspek perilaku, diantaranya:
1. Aspek kelakuan
2. Aspek kerajinan
3. Aspek kebersihan
4. Aspek kerapian
5. Aspek kedisiplinan
Menurut Hamzah B.Uno terdapat 20 indikator yang berkaitan dengan perilaku
dan berpakaian siswa diantaranya sebagai berikut :
1. Pakaian sesuai
ketentuan
2. Atribut lengkap
3. Sepatu sesuai
ketentuan
4. Berpakaian
sesuai ketentuan
5. Kancing
kemeja/baju tidak dibuka
6. Tidak berambut
gondrong bagi laki-laki
7. Tidak bertato
8. Tidak
menggunakan cat kuku
9. Tidak
menggunakan perhiasan berlebihan/bersolek
10. Tidak mengecat
rambut
11. Rambut disisir
rapi
12. Pakaian tidak
ketat
13. Lengan baju
tidak dilipat
14. Memakai kaos
kaki
15. Seluruh bagian
rambut tertutup jilbab bagi wanita
16. Baju dan kemeja
tidak coret-coret
17. Baju disetrika
dengan rapi
18. Rambut tidak
bermodel/bergaya
19. Pakain tidak
tipis/merangsang
20. Membawa tas.
Selanjutnya menurut Syaiful
Bahri Djamarah, dalam memberikan penilaian kerapian berpakaian dapat digunakan
indikator-indikator dibawah ini:
1) Memakai badge
2) Memakai tanda lokasi/atribut/nama
3) Warna hem dan celana/rok sesuai ketentuan
4) Tidak memakai tanda-tanda/tempelan lain pada pakaian
seragam
5) Hem selalu dimasukkan kedalam celana/rok dan memakai
ikat pinggang
6) Memakai seragam olah raga dan pramuka sesuai
ketentuan
7) Rambut pendek tersisir rapi untuk siswa laki-laki
8) Rambut cukup panjang atau panjang sebatas bahu untuk
siswa wanita
9) Kuku pendek dan bersih tanpa alat kosmetik
10) Memakai sepatu hitam terlihat rapi
11) Memakai kerudung/jilbab
yang terpasang rapi.
Indikator berpakaian
rapi di SMA Negeri 1 Sale adalah sebagai berikut :
1.
Pakaian seragam dimasukkan
2.
Seragam lengkap
3.
Seragam sesuai dengan ketentuan yang meliputi :
a.
Tidak berpakain ketat
b.
Tidak menggunakan celana pensil
c.
Model dan warna kerudung sesuai dengan ketentuan
d.
Warna benang jahit sesuai atau selaras dengan warna dasar
4.
Bersepatu hitam (kecuali
Hari Rabu dan Kamis) dan berkaos kaki
5.
Tidak memakai topi dalam kelas
6.
Tidak memakai topi umum di lingkungan sekolah
7.
Tidak memakai sandal selama di sekolah/tidak menginjak bagian
belakang sepatu
8.
Tidak menempel pakaian sobek menggunakan gambar/stiker/dicorat
coret
9.
Menggunakan ikat pinggang bewarna hitam.
Pembiasaan
dengan kerapian berpakaian di sekolah akan mempunyai pengaruh yang positif bagi
kehidupan peserta didik di masa yang akan datang. Pada mulanya memang kerapian
berpakaian dirasakan sebagai suatu aturan yang mengekang kebebasan peserta
didik. Akan tetapi bila aturan ini dirasakan sebagai suatu yang memang
seharusnya dipatuhi secara sadar untuk kebaikan diri sendiri dan kebaikan
bersama, maka lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan menuju ke arah yang
lebih baik.
Kerapian berpakaian bukan lagi
merupakan suatu yang datang dari luar yang memberikan keterbatasan tertentu
akan tetapi kerapian berpakaian telah merupakan aturan yang datang dari dalam
dirinya sebagai suatu hal yang wajar dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
1.1.3. Tujuan Kerapian Berpakaian
Kerapian dirasa sangat penting
dan berpengaruh di dunia pendidikan. Terbukti disekolah-sekolah selalu
diterapkan 7K yang meliputi aspek kerapian, kebersihan, keindahan,
kedisiplinan, ketertiban, keamanan, dan kenyamanan.
Tujuan dari kerapian berpakaian, antara lain:
a. Mengembangkan kemampuan afektif siswa.
b. Membiasakan siswa untuk menaati peraturan yang
berlaku.
c. Membiasakan siswa untuk selalu berpenampilan rapi.
d. Membiasakan siswa menyadari pentingnya menghargai diri
sendiri.
e.Menumbuhkan kesadaran akan
pentingnya kerapian berpakaian guna kehidupan selanjutnya dimasyarakat.
f. Mengembangkan pemahaman
siswa tentang keterkaitan antara pendidikan dengan kerapian berpakaian, yang
menyangkut etika, tata krama serta konsentrasi belajar.
Secara implisit tujuan kerapian
berpakaian adalah agar siswa dapat berpenampilan rapi sesuai etika yang berlaku
di masyarakat. Mengingat tujuan yang sangat penting dan mulia hendaknya
kerapian berpakaian menjadi perhatian dan penerapan yang sungguh-sungguh.
1.2
Pengertian
Reward dan Punishment
2.2.1
Pengertian reward
Reward adalah
salah satu alat belajar dalam pendidikan. Sebagai alat, Reward mempunyai
arti penting dalam pembinaan watak anak didik. Reward dimaksudkan disini
tentu saja sebagai suatu cara untuk menyenangkan dan menggairahkan belajar
peserta didik, baik di sekolah maupun di rumah. Secara istilah reward artinya ganjaran, hadiah, hadiah
atau imbalan. Dlam konsep manajemen reward
merupakan salah satu alat untuk
meningkatkan motivasi anak. Selain motivasi, reward agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki
atau meningkatkan prestasi yang telah dia capai. Jadi, dalam pemberian reward bukanlah
asal memberikan kepada peserta didik, tetapi yang terpenting adalah hasilnya,
yaitu terbentuknya kata hati atau kemauan yang keras peserta didik untuk selalu
belajar dimana dan kapan saja.
Pemberian
reward tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus dilihat
kapan dan kepada siapa reward itu harus diberikan. Pemberian reward sudah
pasti diberikan kepada peserta didik. Hanya saja persoalannya, peserta didik
yang yang bagaimana yang harus mendapatkan reward. Reward tidak
mesti harus diberikan kepada peserta didik yang terpandai di kelasnya, tetapi
juga diberikan kepada peserta didik yang kurang pandai jika ia telah
menunjukkan prestasi belajar yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan jika perlu
reward juga diberikan kepada semua anak didik dalam satu kelas, bila
suatu ketika mereka telah menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dari
sebelumnya. Dengan demikian, pemberian reward bisa diberikan secara
individual maupun kelompok.
Untuk
menentukan reward apakah yang baik diberikan kepada peserta didik,
merupakan suatu hal yang sangat sulit. Karena bila salah, maka reward tidak
mampu berperan dengan baik. Malahan tidak jarang mendatangkan efek negatif pada
anak didik.
2.2.2
Pengertian
punishment(hukuman)
Hukuman adalah salah satu alat belajar
yang juga diperlukan dalam pendidikan. Hukuman diberikan sebagai akibat dari
pelanggaran kejahatan atau kesalahan yang dilakukan anak didik. Tidak seperti
akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran, hukuman mengakibatkan penderitaan atau kedukaan
bagi anak didik yang menerimanya. Pemberian hukuman tidak bisa sembarangan, ada
peraturan yang mengaturnya. Tidak ada alasan menghukum seseorang tanpa
kesalahan. Jadi, hukuman itu dilaksanakan karena ada kesalahan. Di sinilah
pangkal bertolaknya. Oleh karena itu, menurut Purwanto hukuman adalah
penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang
tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan, atau
kesalahan.
Jika begitu, sebagai alat pendidikan,
maka hukuman hendaklah senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran yang
dilakukan oleh peserta didik, sedikit banyak selalu bersifat menyusahkan
peserta didik, dan selalu bertujuan ke arah perbaikan dan untuk kepentingan
peserta didik.
2.3
Prinsip
–prinsip Pemberian Reward dan Punishment
2.3.1
Prinsip-prinsip pemberian reward.
Berikut ini prinsip-prinsip yang perlu
diperhatikan dalam pemberian reward :
a.
Penilaian didasarkan pada perilaku bukan
pelaku.
b.
Pemberian hadiah atau hadiah harus ada
batasnya. Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan
selamanya. Proses ini cukup difungsikan untuk tahapan menumbuhkan kebiasaan.
c.
Hadiah berupa perhatian. Alternatif
bentuk hadiah yang terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian baik
verbal maupun fisik.
d.
Dimusyawarahkan kesepakatannya.
e.
Distandarkan pada proses, bukan hasil.
2.3.2
Prinsip-prinsip pemberian punishment.
Berikut
ini beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian punishment antara lain :
a. Kepercayaan
terlebih dahulu kemudian hukuman. Memberikan komentar kepercayaan harus
dlakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan.
b. Hukuman
distandarkan pada perilaku.
c. Menghukum
tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orang tua dan pendidik
adalah ketika mereka memberikan hukuman yang disertai dengan emosi dan
kemarahan. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang
menginginkan adanya penyadaran dari anak menjadi tidak efektif lagi. (Dwi
Haryani, www.buntetpesantren.org)
2.4
Bentuk-bentuk
Pemberian Reward dan Punishment
2.4.1
Bentuk-bentuk pemberian reward
Reward
yang
dapat diberikan guru bermacam-macam jenis dan bentuknya. Ada reward dalam
bentuk material, adapula reward dalam bentuk perbuatan. Menurut Ana
Syaodih ada beberapa macam sikap dan perilaku guru yang dapat merupakan reward
bagi anak didik sebagai berikut :
a.
Dalam bentuk Gestural. Guru
yang menganggukanggukkan kepala sebagai tanda senang dan membenarkan sutau
sikap, perilaku, atau perbuatan anak didik;
b.
Dalam bentuk verbal. Abstraknya
bisa dalam bentuk pujian, kisah/cerita atau nyanyian. Guru memberikan kata-kata
yang menyenangkan berupa pujian kepada anak didik;
c.
Dalam bentuk pekerjaan;
d.
Dalam bentuk material. Reward dapat
berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi siswa. Misalnya pensil,
buku tulis, atau yang lain. Tetapi dalam hal ini guru harus ekstra hati-hati
dan bijaksana, sebab bila tidak tepat menggunakannya, maka akan membiaskan
fungsinya yang semula untuk menggairahkan belajar anak didik berubah menjadi
upah dalam pandangan anak didik;
e.
Dalam bentuk kegiatan. Misalnya
guru memberikan reward dalam bentuk tour kependidikan ke tempat-tempat
tertentu kepada semua anak didik dalam satu kelas, yang penting reward
yang diberikan bernilai edukatif.
2.4.2
Bentuk-bentuk pemberian punishment
Menurut
William Stern (dalam Ana Syaodih)
membedakan 3 macam hukuman yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan
anak-anak yang menerima hukuman itu antara lain :
a. Hukuman
asosiatif, umumnya orang yang mengasosiasikan
antara hukuman dan kejahatan atau pelanggaran, antara penderitaan yang
diakibatkan oleh hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukan. Untuk
menyingkirkan perasaan yang tidak enak akibat hukuman, biasanya orang atau anak
menjauhi perbuatan yang tidak baik atau yang dilarang.
- Hukuman logis, hukuman ini digunakan terhadap anak anak yang telah agak besar. Dengan hukuman ini anak mengerti bahwa hukuman itu adalah akibat logis dari pekerjaan atau perbuatan yang tidak baik. Anak mengerti bahwa ia mendapat hukuman sebagai akibat dari kesalahan yang diperbuatnya.
- Hukum normatif adalah hukuman yang bermaksud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini dilakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran mengenai norma norma etika seperti berdusta, mencuri, dan sebagainya. Jadi hukuman normatif berkaitan erat dengan pembentukan watak anak-anak.
Bagus kok bu
BalasHapusMakasih bu.....
Hapusteks panjang kali bu.. bisa dipenggal bu.. biar keliatan semua postingannya.. kunjungi ya --> https://ayobisablog.blogspot.co.id/
BalasHapusBagus Bu....
BalasHapusKeren ibu bahasannya
BalasHapus