Jumat, 20 Januari 2017

REWARD DAN PUNISHMENT UNTUK MENINGKATKAN KERAPIAN BERPAKAIAN SISWA SMA



1.1         Kerapian Berpakaian
1.1.1        Pengertian Kerapian Berpakaian
Kerapian merupakan salah satu aspek yang menjadi bagian dari penilaian guru pada siswa. Kerapian dapat disinonimkan dengan kata apik. Jadi aspek ini lebih pada penampilan fisik atau yang tampak dari diri siswa. Siswa yang rapi adalah siswa yang selalu tampil dengan apik, necis, dan dirinya terawat dengan baik dari segi kesehatannya. Demikian pula pakaian dan peralatan yang dimilikinya.
Menurut Mutiara Endah (2013) kerapian berpakaian yaitu suatu perilaku seseorang agar selalu tetap rapi dalam berpakaian, sesuai dengan tata tertib yang berlaku.
Kerapian berpakaian dirasa berperan penting dalam pendidikan. Karena pendidikan bukan hanya mencetak siswa berprestasi dalam bidang akademik, melainkan juga sebagai wadah pengembangan potensi dan kepribadian siswa. Disuatu sekolah tanpa adanya kerapian berpakaian akan mengganggu kenyamanan peserta didik dalam belajar.
Tujuan pembelajaran meliputi tiga ranah yakni kognitif, afektif, dan psikomotor. Ranah kognitif adalah kawasan yang berkenaan dengan proses pengetahuan melalui evaluasi. Ranah afektif adalah satu domain yang berkaitan dengan sikap, nilai-nilai, apresiasi, dan penyesuaian perasaan sosial. Sedangkan ranah psikomotor yakni berhubungan dengan sebuah stimuli yang berkaitan dengan organ tubuh. Kerapian berpakaian disini masuk wilayah ranah afektif yakni berkaitan mengenai sikap dan perilaku siswa di sekolah.

1.1.2        Indikator Kerapian Berpakaian
Kerapian berpakaian merupakan salah satu bagian dari ranah afektif. Sebelumnya ranah afektif dianggap kurang berpengaruh, guru hanya memprioritaskan ranah kognitif. Sedangkan untuk ketercapaian tujuan pembelajaran peserta didik diwajibkan untuk memenuhi syarat dari ketiga ranah tersebut. Ranah afektif meliputi beberapa aspek perilaku, diantaranya:
1. Aspek kelakuan
2. Aspek kerajinan
3. Aspek kebersihan
4. Aspek kerapian
5. Aspek kedisiplinan
Menurut Hamzah B.Uno terdapat 20 indikator yang berkaitan dengan perilaku dan berpakaian siswa diantaranya sebagai berikut :
1. Pakaian sesuai ketentuan
2. Atribut lengkap
3. Sepatu sesuai ketentuan
4. Berpakaian sesuai ketentuan
5. Kancing kemeja/baju tidak dibuka
6. Tidak berambut gondrong bagi laki-laki
7. Tidak bertato
8. Tidak menggunakan cat kuku
9. Tidak menggunakan perhiasan berlebihan/bersolek
10. Tidak mengecat rambut
11. Rambut disisir rapi
12. Pakaian tidak ketat
13. Lengan baju tidak dilipat
14. Memakai kaos kaki
15. Seluruh bagian rambut tertutup jilbab bagi wanita
16. Baju dan kemeja tidak coret-coret
17. Baju disetrika dengan rapi
18. Rambut tidak bermodel/bergaya
19. Pakain tidak tipis/merangsang
20. Membawa tas.
Selanjutnya menurut Syaiful Bahri Djamarah, dalam memberikan penilaian kerapian berpakaian dapat digunakan indikator-indikator dibawah ini:
1) Memakai badge
2) Memakai tanda lokasi/atribut/nama
3) Warna hem dan celana/rok sesuai ketentuan
4) Tidak memakai tanda-tanda/tempelan lain pada pakaian seragam
5) Hem selalu dimasukkan kedalam celana/rok dan memakai ikat pinggang
6) Memakai seragam olah raga dan pramuka sesuai ketentuan
7) Rambut pendek tersisir rapi untuk siswa laki-laki
8) Rambut cukup panjang atau panjang sebatas bahu untuk siswa wanita
9) Kuku pendek dan bersih tanpa alat kosmetik
10) Memakai sepatu hitam terlihat rapi
11) Memakai kerudung/jilbab yang terpasang rapi.
Indikator berpakaian rapi di SMA Negeri 1 Sale adalah sebagai berikut :
1.        Pakaian seragam dimasukkan
2.        Seragam lengkap
3.        Seragam sesuai dengan ketentuan yang meliputi :
a.                   Tidak berpakain ketat
b.                   Tidak menggunakan celana pensil
c.                   Model dan warna kerudung sesuai dengan ketentuan
d.                  Warna benang jahit sesuai atau selaras dengan warna dasar
4.         Bersepatu hitam (kecuali Hari Rabu dan Kamis) dan berkaos kaki
5.        Tidak memakai topi dalam kelas
6.        Tidak memakai topi umum di lingkungan sekolah
7.        Tidak memakai sandal selama di sekolah/tidak menginjak bagian belakang sepatu
8.        Tidak menempel pakaian sobek menggunakan gambar/stiker/dicorat coret
9.        Menggunakan ikat pinggang bewarna hitam.
Pembiasaan dengan kerapian berpakaian di sekolah akan mempunyai pengaruh yang positif bagi kehidupan peserta didik di masa yang akan datang. Pada mulanya memang kerapian berpakaian dirasakan sebagai suatu aturan yang mengekang kebebasan peserta didik. Akan tetapi bila aturan ini dirasakan sebagai suatu yang memang seharusnya dipatuhi secara sadar untuk kebaikan diri sendiri dan kebaikan bersama, maka lama kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan menuju ke arah yang lebih baik.
Kerapian berpakaian bukan lagi merupakan suatu yang datang dari luar yang memberikan keterbatasan tertentu akan tetapi kerapian berpakaian telah merupakan aturan yang datang dari dalam dirinya sebagai suatu hal yang wajar dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

1.1.3. Tujuan Kerapian Berpakaian
Kerapian dirasa sangat penting dan berpengaruh di dunia pendidikan. Terbukti disekolah-sekolah selalu diterapkan 7K yang meliputi aspek kerapian, kebersihan, keindahan, kedisiplinan, ketertiban, keamanan, dan kenyamanan.
Tujuan dari kerapian berpakaian, antara lain:
a. Mengembangkan kemampuan afektif siswa.
b. Membiasakan siswa untuk menaati peraturan yang berlaku.
c. Membiasakan siswa untuk selalu berpenampilan rapi.
d. Membiasakan siswa menyadari pentingnya menghargai diri sendiri.
e.Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kerapian berpakaian guna kehidupan selanjutnya dimasyarakat.
f. Mengembangkan pemahaman siswa tentang keterkaitan antara pendidikan dengan kerapian berpakaian, yang menyangkut etika, tata krama serta konsentrasi belajar.
Secara implisit tujuan kerapian berpakaian adalah agar siswa dapat berpenampilan rapi sesuai etika yang berlaku di masyarakat. Mengingat tujuan yang sangat penting dan mulia hendaknya kerapian berpakaian menjadi perhatian dan penerapan yang sungguh-sungguh.

1.2         Pengertian  Reward dan Punishment
2.2.1 Pengertian reward
Reward adalah salah satu alat belajar dalam pendidikan. Sebagai alat, Reward mempunyai arti penting dalam pembinaan watak anak didik. Reward dimaksudkan disini tentu saja sebagai suatu cara untuk menyenangkan dan menggairahkan belajar peserta didik, baik di sekolah maupun di rumah. Secara istilah reward artinya ganjaran, hadiah, hadiah atau imbalan. Dlam konsep manajemen reward  merupakan salah satu alat untuk meningkatkan motivasi anak. Selain motivasi, reward agar seseorang menjadi giat lagi usahanya untuk memperbaiki atau meningkatkan prestasi yang telah dia capai.  Jadi, dalam pemberian reward bukanlah asal memberikan kepada peserta didik, tetapi yang terpenting adalah hasilnya, yaitu terbentuknya kata hati atau kemauan yang keras peserta didik untuk selalu belajar dimana dan kapan saja.
Pemberian reward tidak dapat dilakukan secara sembarangan, tetapi harus dilihat kapan dan kepada siapa reward itu harus diberikan. Pemberian reward sudah pasti diberikan kepada peserta didik. Hanya saja persoalannya, peserta didik yang yang bagaimana yang harus mendapatkan reward. Reward tidak mesti harus diberikan kepada peserta didik yang terpandai di kelasnya, tetapi juga diberikan kepada peserta didik yang kurang pandai jika ia telah menunjukkan prestasi belajar yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan jika perlu reward juga diberikan kepada semua anak didik dalam satu kelas, bila suatu ketika mereka telah menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan demikian, pemberian reward bisa diberikan secara individual maupun kelompok.
Untuk menentukan reward apakah yang baik diberikan kepada peserta didik, merupakan suatu hal yang sangat sulit. Karena bila salah, maka reward tidak mampu berperan dengan baik. Malahan tidak jarang mendatangkan efek negatif pada anak didik.

2.2.2        Pengertian punishment(hukuman)
Hukuman adalah salah satu alat belajar yang juga diperlukan dalam pendidikan. Hukuman diberikan sebagai akibat dari pelanggaran kejahatan atau kesalahan yang dilakukan anak didik. Tidak seperti akibat yang ditimbulkan oleh ganjaran, hukuman mengakibatkan penderitaan atau kedukaan bagi anak didik yang menerimanya. Pemberian hukuman tidak bisa sembarangan, ada peraturan yang mengaturnya. Tidak ada alasan menghukum seseorang tanpa kesalahan. Jadi, hukuman itu dilaksanakan karena ada kesalahan. Di sinilah pangkal bertolaknya. Oleh karena itu, menurut Purwanto hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan.
Jika begitu, sebagai alat pendidikan, maka hukuman hendaklah senantiasa merupakan jawaban atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik, sedikit banyak selalu bersifat menyusahkan peserta didik, dan selalu bertujuan ke arah perbaikan dan untuk kepentingan peserta didik.

2.3    Prinsip –prinsip Pemberian Reward  dan  Punishment
2.3.1        Prinsip-prinsip pemberian reward.
Berikut ini prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian reward :
a.         Penilaian didasarkan pada perilaku bukan pelaku.
b.        Pemberian hadiah atau hadiah harus ada batasnya. Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan untuk tahapan menumbuhkan kebiasaan.
c.         Hadiah berupa perhatian. Alternatif bentuk hadiah yang terbaik bukanlah berupa materi, tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik.
d.        Dimusyawarahkan kesepakatannya.
e.         Distandarkan pada proses, bukan hasil.

2.3.2        Prinsip-prinsip pemberian punishment.
Berikut ini beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian punishment antara lain :
a.    Kepercayaan terlebih dahulu kemudian hukuman. Memberikan komentar kepercayaan harus dlakukan terlebih dahulu ketika anak berbuat kesalahan.
b.    Hukuman distandarkan pada perilaku.
c.    Menghukum tanpa emosi. Kesalahan yang paling sering dilakukan orang tua dan pendidik adalah ketika mereka memberikan hukuman yang disertai dengan emosi dan kemarahan. Dalam kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang menginginkan adanya penyadaran dari anak menjadi tidak efektif lagi. (Dwi Haryani, www.buntetpesantren.org)

2.4         Bentuk-bentuk Pemberian Reward  dan  Punishment
2.4.1 Bentuk-bentuk pemberian reward
Reward yang dapat diberikan guru bermacam-macam jenis dan bentuknya. Ada reward dalam bentuk material, adapula reward dalam bentuk perbuatan. Menurut Ana Syaodih ada beberapa macam sikap dan perilaku guru yang dapat merupakan reward bagi anak didik sebagai berikut :
a.         Dalam bentuk Gestural. Guru yang menganggukanggukkan kepala sebagai tanda senang dan membenarkan sutau sikap, perilaku, atau perbuatan anak didik;
b.         Dalam bentuk verbal. Abstraknya bisa dalam bentuk pujian, kisah/cerita atau nyanyian. Guru memberikan kata-kata yang menyenangkan berupa pujian kepada anak didik;
c.         Dalam bentuk pekerjaan;
d.        Dalam bentuk material. Reward dapat berupa benda-benda yang menyenangkan dan berguna bagi siswa. Misalnya pensil, buku tulis, atau yang lain. Tetapi dalam hal ini guru harus ekstra hati-hati dan bijaksana, sebab bila tidak tepat menggunakannya, maka akan membiaskan fungsinya yang semula untuk menggairahkan belajar anak didik berubah menjadi upah dalam pandangan anak didik;
e.         Dalam bentuk kegiatan. Misalnya guru memberikan reward dalam bentuk tour kependidikan ke tempat-tempat tertentu kepada semua anak didik dalam satu kelas, yang penting reward yang diberikan bernilai edukatif.

2.4.2 Bentuk-bentuk pemberian punishment
Menurut William Stern (dalam Ana Syaodih)  membedakan 3 macam hukuman yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu antara lain :
a.        Hukuman asosiatif, umumnya orang yang mengasosiasikan antara hukuman dan kejahatan atau pelanggaran, antara penderitaan yang diakibatkan oleh hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukan. Untuk menyingkirkan perasaan yang tidak enak akibat hukuman, biasanya orang atau anak menjauhi perbuatan yang tidak baik atau yang dilarang.

  1.  Hukuman logis, hukuman ini digunakan terhadap anak anak yang telah agak besar. Dengan hukuman ini anak mengerti bahwa hukuman itu adalah akibat logis dari pekerjaan atau perbuatan yang tidak baik. Anak mengerti bahwa ia mendapat hukuman sebagai akibat dari kesalahan yang diperbuatnya. 
  2.  Hukum normatif adalah hukuman yang bermaksud memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini dilakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran mengenai norma norma etika seperti berdusta, mencuri, dan sebagainya. Jadi hukuman normatif berkaitan erat dengan pembentukan watak anak-anak.

5 komentar: